Untuk Seorang Penanti Oreo Cake yang Setia
Mari tidak kembali pada enam tahun yang lalu,

Dari mana tulisan ini harus kumulai? Mungkin dari puisi yang dulu kutulis,
Ketika aku menuliskan itu, aku mengatakan bahwa setiap langkah yang dengan sadar dilangkahkan akan ada pulang. Kupikir maksudku ketika menuliskan itu bukanlah untuk menyuruhmu menunggu dengan setia. Setidaknya dulu aku ingin memberi saran untukmu mencari jalan pulang. Kepada dirimu. Kepada jantungmu sendiri.
Namun, sekarang kau pulang ke mana? ke dirimu sendiri? ataukah kepada kenangan indah dirimu yang telah berlalu? kuharap kau pulang pada rumah yang pertama. Pada dirimu sendiri.
Dan lagi, sebagai seorang teman aku mengerti kita berdua adalah orang yang paling bangga ketika kuat dalam proses bertahan menanti Oreo Cake. Ketika kau menghujat orang yang mengglorifikasi perjuangan, kita sepaham bahwa kita adalah orang yang puas dan gemar untuk mengglorifikasi penderitaan.
Tapi, seiring aku akhirnya mencari dan bertanya, kupikir, bukankah sudah waktunya kita berhenti untuk mengglorifikasi penderitaan dan mulai melangkah pulang? Bukankah ada Cake lain yang mungkin lebih manis dari oreo cake? mungkin cheese, red velvet, atau yang lainnya? mungkin rasanya tidak akan sama ketika bahkan yang mengantarkannya bukan seorang perempuan berambut pendek dan berkacamata.
Bukankah yang penting rasa manisnya?
Tapi entahlah, mungkin memang itu hanya ego kita saja untuk merasa paling menderita. Karena mungkin itu saja yang dapat kita banggakan pelan-pelan. Dalam diam.
Tulisan ini, sejujurnya awalnya bukan untuk mengenang, melainkan mempertanyakan. Ketika puisiku untukmu -yang akhirnya dibacakan, diakhiri dengan pertanyaan: Lalu kau mau apa? Aku mengira dulu kau akhirnya kesulitan untuk menjawabnya.
Namun, kukira kau telah sanggup lepas, inci demi inci, dari cengkeraman masa itu.
Yang paling utama, kurasa, adalah kau sudah mulai mencari lagi rasa manis kue. Walaupun mungkin dalam bentuk berbeda. Setidaknya kau telah selangkah lebih maju daripadaku dalam menego dan bertransaksi dengan keinginanmu. Dalam sudut mataku, kau berhasil membuang apa yang kau rasa tidak perlu dan tidak ingin kau jalani. Kau akhirnya berhasil menapak pada trotoar dingin yang kau pilih sendiri. Dengan konsekuensi yang kau nilai dari sudut gelap matamu sendiri.
Kupikir itu sebuah proses.
Tidak mengesankan. Namun tidak buruk pula.
Walaupun kupikir kau akan selalu terpaku pada rambut pendek dan kacamata. Kau akan selalu mencari kacamata dalam pengulangan-pengulangan arpeggio. Setidaknya kau terkunci pada imajinya, bukan pada orangnya. Semoga saja demikian. Karena itu adalah sebuah harapan.
Setidaknya saat ini, kau telah mampu membuka gembok-gembok yang mengunci segala rasa. Mungkin. Aku tak pernah tahu itu. Dalam pengamatanku, kau telah berani memulai kembali pertemuan dan mengedarkan beberapa kesempatan. Walaupun mungkin selalu berakhir dengan rasa marah dan sebal. Atau bahkan rasa membandingkan hal yang baru dengan memori yang tak akan pernah rusak.
Tapi, walaupun begitu itulah proses.
Tidak buruk. Tapi juga tidak mengesankan.
Aku juga lupa kapan dulu kau berkata ingin melompati proses menuju hal lain setelah kehidupan. Tapi aku mengerti perihnya begitu pilu. Kuharap kau tidak kembali dalam ritual-ritual busuk itu. Ketika kubahasakan, walaupun kau mungkin belum punya alasan untuk bertahan, setidaknya sekarang kau punya sebuah alasan untuk tidak menyeberang.
Dua puluh lima tahun adalah waktu yang panjang. Menurutku. Aku tak ingin menyuruhmu mengulangi kelahiran dalam lima puluh kali lagi. Atau selama mungkin. Aku hanya menyuruhmu untuk mengulangi kelahiranmu berkali-kali hingga egomu terpuaskan, atau sampai kau cukup ikhlas untuk pergi.
Karena menurutku, ucapan syukur paling tinggi adalah Pulang tanpa penyesalan.
Dan karena rasa penyesalanmu terbesar mungkin adalah dilupakan orang-orang -kurang lebih sama denganku, aku akan menyuruhmu untuk terus mengulang kelahiran sampai kau lahir dalam benak orang-orang dan diteruskan sampai Bumi ini menua. Yah, walaupun mungkin nama dan wajahmu dilupakan, setidaknya ide dan apa yang kau perjuangkan diteruskan pada kelahiran-kelahiran baru.
Selamat mengulang kelahiran! Aku tidak akan mendoakanmu apa-apa, Karena kita berdua sama-sama tahu bahwa doaku telah lama ditolak angkasa dan dilontarkan tanah. Jadi biarkan pengharapan jadi tulisan ini saja.
Surabaya, 28 Juli 2020.
PS: Jangan mati lebih dulu. Aku nanti tak punya teman untuk membanggakan derita.