Tenggelam di Jelaga Karma
Ketika karma adalah sebuah jalan pulang bagi jiwa menuju raga, maka manusia harus menjalani segala pedih dan duka

Manusia sepertinya tidak akan pernah puas memperkosa dirinya. Bangun tiap pagi dengan gundah mengalung di lehernya dan berbagai pertanyaan terkait hidup memasung langkah kakinya. Tarikan nafasnya terlampau berat untuk sekadar bersandiwara. Setelah memandikan dirinya dengan nestapa, kemudian mereka akan kebingungan memilih topeng seperti apa yang akan dikenakan untuk menuntaskan hari.
Begitulah para manusia yang selalu menggenggam luka dan tak pernah berusaha mencari pengobatan yang ada. Selalu merahasiakan sakit yang mencoba untuk tidak dirasakan, padahal mereka tertatih untuk selalu menjalani hari.
Lupakan soal siklus sedih dan bahagia.
Luka tidak sepedih itu ketika diobati. Nanah yang menguar bau revanol itu melekat dengan tajam di pilu yang dienyam oleh emosi. Kebanyakan pilu yang berupa mayat berjalan merupakan tumpukan derita yang tak pernah benar-benar dipilah dan disembuhkan. Keras kepala selalu mengawan menutupi gairah untuk hidup dengan benar. Namun, seperti dunia bekerja dengan tidak baik: luka tidak selalu dirawat dan terkadang dibiarkan parah. Manusia tidak selalu memilih untuk bergeser dari sedih dan melangkah menuju bahagia.
Manusia yang hidup seperti mati ini, tidak pernah mengerti bahwa mereka tengah menjalani karma. Kesedihan larut dalam retina mereka, hingga apa yang mereka lihat hanyalah pedih-pedih lain yang ada di setiap sudut waktu. Mereka mengumpankan jiwa mereka jauh kepada duka. Hingga ketika jiwa itu kembali ke raga masing-masing, mereka membawa banyak air mata dan depresi sebagai oleh-oleh petualangan.
Setelah beberapa suhu panas Surabaya kulewati dengan keluhan tiada bertepi. Aku mengerjapkan asa untuk kemudian mencari pembenaran atas luka-luka yang tak kunjung sembuh. Aku mengutuk diri mengapa kesendirian menyergapku pelan-pelan ketika arloji menunjuk pukul dua dini hari. Tidak pernah menyadari bahwa aku tengah mengutuk dan mengamini sebuah kondisi.
Ungkapan mencari kebahagiaan dan terlepas dari kesedihan, seperti tidak pernah kutemukan dalam jurnal berwarna cokelat yang sekarang selalu kutumpuk di rak paling bawah. Mereka bilang aku hanya berfokus pada kesedihan, tak membiarkan roda semesta bergerak. Padahal ketika kutahu aku terbangun tiap pagi dengan gelisah mengecek apakah aku mempunyai kebahagiaan, aku hanya tersesat pada jelaga karma.
Dan karma itu menjeratku semakin pedih.
Karma manusia tetap tersirat jejak langkahnya, walau sampai di akhir hayat
- Karma by Dewa Budjana feat. Trie Utami
Karma manusia sejatinya adalah sebuah perputaran roda semesta. Datang adalah pergi yang tertunda, sementara pergi adalah menetap pada perjalanan. siklus datang dan pergi adalah sebuah verse kecil dari makna besar siklus karma.
Manusia terkadang terlalu picik dan berlomba-lomba menjadi yang paling sengsara. Mereka menglorifikasi perjuangan-perjuangan yang memang sudah seharusnya mereka lalui. Memajang perjuangan melawan nestapa itu di jidat mereka dan mengaraknya dari lahir hingga perkabungan.
Kebanggaan ketika melakukan suatu kebaikan adalah sebuah kesombongan yang nyata. Aku menemukannya di setiap perjalanan pulang. Dia tertempel di billboard perempatan jalan raya. Berupa susunan banner yang terpampang di pohon-pohon sepanjang jalan. Lalu kami, sebagai manusia, masih saja berusaha agar perjalanan pulang merupakan sebuah perjalanan yang membahagiakan. Manusia mengusahakan agar perjalanan pulangnya merupakan perpaduan warna terang dan indah.
Namun, sayangnya, perjalanan pulang seperti itu tidak pernah kudapatkan.
Aku mempersilahkan diriku membahasakan karma dengan caraku sendiri. Mengumpamakan karma adalah sebuah bentuk perjalanan pulang jiwa menuju raga. Manusia selalu mengumpankan jiwa, menceburkannya ke dalam sebuah jelaga perbuatan. Mereka merasa dapat memilih untuk meceburkan jiwa mereka dalam jelaga perbuatan baik ataupun jelaga perbuatan baik. Setelah puas jiwa mereka mandi dan berenang dalam kubangan itu, jiwa akan kembali pulang, menyusuri jalan menuju raga.
Karma adalah bentuk perjalanan pulang dari jelaga ini dan apa-apa saja yang mungkin dapat terjadi. Bisa jadi tetesan-tetesan terjatuh dan membasahi jalan pulang. Tetesan itu dapat berasal dari jelaga kebaikan atau sebaliknya. Tetesan inilah yang kemudian dapat menyakiti jiwa dalam perjalanannya. Tetesan inilah yang juga dapat menyembuhkan luka yang sebelumnya diderita jiwa. Hanya, ini berasal dari tetesan yang mana?
Aku takut, bahwa jiwaku ternyata tersakiti dalam perjalanannya pulang. Aku merasa jiwaku sedang tersandung pilu, atau sekadar terpeleset oleh berbagai tetesan-tetesan yang didapatkannya setelah tenggelam dalam jelaga karma. Aku melihat jiwaku mempunyai berbagai lebam biru di beberapa sudutnya. Melihat ada tangisan yang diisakkanya, namun telah bersatu dengan badannya yang basah.
Dan ketika jiwa itu kembali kepada ragaku, aku tersakiti lebih jauh.
Luka batin yang didekap oleh jiwa kemudian menjadi semakin parah ketika raga juga ikut merasakannya. Luka yang disematkan pada raga bukan berupa borok, nanah, atau darah yang mengalir. Luka itu berupa: terjaga hingga lebih pagi dari seharusnya. Mengubah pola makan hingga lambung lebih perih dari seharusnya. Merokok hingga lebih sesak dari seharusnya. Mengunci interaksi antar manusia lebih sepi dari seharusnya. Atau mungkin yang paling parah adalah menipu diri hingga lebih lupa diridari seharusnya.
Tapi, mungkin aku dan beberapa manusia memang lebih suka menyakiti dan mendera diri.
Karma Baik adalah Karma Buruk, Karma Buruk adalah Karma Baik.
Namun bagaimana ketika Jelaga karma baik dan buruk itu sebenarnya tidak pernah benar-benar terpisah. Bagaimana kalau berbagai kubangan kesedihan dan kebahagiaan tidak benar-benar berbeda. Bagaimana kalau selama ini, aku tidak pernah benar-benar harus memilih.
Aku yang bingung kemudian bertanya, “Manusia mengamini kenyataan sebelah mana dari karma?”
Manusia selalu mengamini karma sebagai bentuk sebab-akibat. Mereka mengiyakan bahwa apapun yang mereka perbuat, baik atau buruk, akan menghasilkan suatu akibat yang sama. Padahal, ketika aku tenggelam dalam karmaku sendiri, tak kulihat bahwa aku sedang menikmati kebaikan yang dulu pernah kulakukan. Lalu aku harus mengamini karma yang mana? Aku harus bersabar menerima akibat dari perbuatanku yang mana?
Hingga kemudian aku tersadar. Apapun yang kulakukan, aku harus menanggung keduanya: bahagia dan sedih. Sebagaimanapun jelaga tempatku mencelupkan jiwaku, kuanggap baik dan tidak menyakiti, akan ada tetesan-tetesan dalam perjalanan pulang yang akhirnya kuanggap sebagai nestapa. Sebaliknya sekejam apapun aku menceburkan jiwaku dalam kejahatan, akan ada kebahagiaan yang dapat kurengkuh hangat.
Karena manusia tidak dapat memilih dan mengatur apakah kebaikan yang dilakukannya merupakan kebaikan pula untuk orang lain dan lingkungannya.
Seperti yang kulakukan ketika aku harus meninggalkan seseorang. Aku merasa apa yang kulakukan merupakan hal baik. Karena aku sadar dengan tetap menemani orang itu, berada di sampingnya, aku akan lebih menyakitinya. Namun, kebaikan itu ternyata menyakitinya. Menguliti kebahagiaannya. Aku yang masih tertatih, harus mengakui dan menjalani karma buruk yang ditimbulkan dari perbuatanku.
Karena pada akhirnya, aku mendapati bahwa predikat kejahatan dan kebaikan, jelaga yang kusebutkan itu, hanyalah dinilai dari sudut pandang. Hanya dinilai dari posisi dan retina yang seringkali berbeda. Sehingga, aku harus paham diri, bahwa aku mungkin adalah yang salah, namun mungkin juga orang lain yang salah.
Terlepas dari itu semua aku ingin mengamini karma seperti aku mengamini Tuhan itu ada. Aku mencoba menerima segala kesedihan dan kebahagiaan yang mendera jiwaku dalam perjalanannya pulang. Aku mencoba menerima ketika pedih dan luka mencekikku hingga mau mati, karena dengan menerima hal itu aku menyadari aku tidak sendiri. Aku mencoba berbahagia ketika beberapa pesan masuk ke ponselku, menanyakan kabar. Sebelum aku kemudian harus menerima bahwa aku telah kehilangan banyak hal dan hanya menyisakan mereka saja.
Mungkin, seperti itulah seharusnya aku bertahan menjalani hidup.
Karena, bagiku perjalanan karma ini adalah semalanya. Kesedihan yang ditinggalkan ataupun kebahagiaan yang ditebarkan, hanyalah sementara dan sebuah verse singkat dari keseluruhan hubungan jiwa dan raga.
Mungkin, aku harus menanggung karma ketika aku meninggalkanmu, kemudian kau tinggalkan, hingga aku meninggalakan segalanya. Namun yang aku tahu pasti hanya satu hal:
Karma tak pernah meninggalkan manusia.
Jelaga Karma, masih di tempat yang sama aku bersedih dan berbahagia
Akhir November, menunggu November Rain yang decent.