Tak Ada Jalan Kembali, Hanya Harus Terus Melangkah Pulang
Mari membahas jalan pulang dan arah rumah yang tak terdaftar di susunan mata angin.
Rumah berdiri dalam luapan-luapan hampa.
Ditopang oleh tawa tanpa arti, berjendelakan suri.
Lantainya dari kepala, masuk membuka asaDan Rumah itu tetap
Menipu diri
— Untitled #12
Tulisan di atas adalah salah satu tulisan yang kususun pada masa SMA. Tepatnya pada diselesaikan pada tanggal 9 September 2013. Kalau ingatanku tidak sedang mengelabui, maka pada saat itu aku menjadi seseorang yang sangat benci dengan rumah. Gemar menghabiskan nafas bau nikotin di udara terbuka.
Gambaran sedang mengoleskan minyak angin cap kapak di depan emperan ruko yang tengah tutup masih samar tergambar di memoriku yang hampir penuh. Kalau tidak salah aku sedang berhenti dan memarkir motorku sembari menunggu hujan berlalu.
Ya, kejadian di sore hari itu adalah sebuah pemberhentian dalam perjalanan pulang. Menuju rumah.
Ada beragam alasan yang dapat kumuntahkan untuk mengamini kegiatanku menjeda pulang. Bukan tentang hujan deras yang memaksaku menepi, aku selalu membawa jas hujan ketika berpergian dengan motorku semasa SMA, melainkan bahwa aku enggan untuk sampai di rumah. Buatku perjalanan dan juga jalan adalah tempatku paling nyaman. Tidak ada tanggung jawab dan beban pikiran yang harus kukeluarkan dari tas ransel dan memilah-milahnya sebelum kumasukkan pada lemari kayu dari particle board yang dibeli dengan harga murah.
Hanya ada aspal, putaran lagu di earphone, dan suara bising jalanan.
Semasa SMA, rumah sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Ada beragam tuntutan serta ekspektasi orang tua, kewajiban tugas rumah tangga yang juga harus kukerjakan, serta omelan-omelan yang kerap kudengarkan ketika aku berusaha menjadi diriku sendiri.
Walaupun demikian, sejujurnya hal yang membuatku benci dengan rumah adalah aku tak pernah merasa ada di tempat seharusnya aku berada. Pada masa itu, aku merasa tidak diterima di rumah. Susunan beton, barisan keramik lantai, dan daun-daun jendela seperti tak mengerti bahwa aku ingin menjadi aku. Terlebih nafas-nafas yang dihela serta dihembuskan di dalamnya. Pertukaran oksigen dan karbon dioksida ini kurasa dulu tak pernah memberikan jeda yang kubutuhkan untuk dimengerti. Apalagi usaha untuk mengerti.
Tulisan Untitled#12 itu kuceritakan sebagai sebuah bentuk kekosongan rumah. Tidak, ini bukan tentang rumah tanpa perabot. Ini tentang rumah tanpa rasa. Tentang bagaimana tawa yang bergema di dalamnya adalah topeng lain dari rasa tidak peduli dan enggan berempati. Tentang bagaimana kepala-kepala kerap menunduk menyembunyikan raut wajah yang selalu tidak sesuai dengan kondisi.
Tentang rumah kosong yang tak berisi diri sendiri.
ru.mah (n) bangunan untuk tempat tinggal
Bahasa Indonesia mempunyai kelemahan dalam mengartikan kata rumah. Kita menerjemahkan rumah sebagai sebuah bangunan untuk ditinggali. Kerap lupa untuk mengamini bahwa rumah merupakan sebuah tempat paling nyaman untuk menjadi diri sendiri.
Karena bahasa purba yang disematkan nenek moyang kita itulah, mungkin kita merasa perlu menyewa jasa arsitek dan desainer interior untuk membuat bangunan tempat kita tinggal menjadi cantik dan estetik. Kita mengamini rumah adalah bangunan. Sebagai susunan bata yang dicor menjadi tembok berikut cat warna pastel yang sangat elegan apabila disandingkan dengan mebel-mebel bergaya skandinavian.
Kita lupa menjaga rasa nyaman untuk membuka topeng penuh tipu muslihat itu. Lupa untuk menjaga suaka untuk bersedih dan mengucurkan tangis di pagi hari ketika duka memulai kampanyenya berkali-kali lagi. Lupa untuk memperkokoh rasa percaya dan saling menerima kekurangan dalam cahaya-cahaya redup di ujung malam.
Lalu, kita akan selalu menghujat orang yang kabur dari tempat tinggalnya. Mencacinya sebagai orang tak tahu diuntung yang tak lagi peduli pada bangunan kotak dan atap cokelatnya. Padahal kita mungkin tak pernah tahu bahwa orang yang kabur itu bukan sedang kabur dari rumah melainkan mencari rumah yang sebenar-benarnya rumah.
Pertanyaannya sekarang adalah: orang yang kabur dari rumah itu sedang melangkahkan arah ke mana?
Aku selalu mengulangi doktrin pribadiku tentang rumah. Di setiap puisi. Di berbagai tulisan. Tapi aku belum pernah benar-benar berpikir tempat seperti apa yang paling nyaman untuk pulang dan menjadi diri sendiri. Rumah seperti apakah yang sering kumetaforakan dan kupuja-puja itu? Apakah berlantai parket kayu hangat dan akan terasa gerah ketika kemarau menghadang Surabaya di arteri-arteri jalan utamanya? Ataukah mempunyai halaman luas yang terkadang tak terurus karena rasa enggan yang menggelapi diri?
Mungkin, rumah juga bukan tentang hal lain selain bangunan.
Mungkin rumah bukan hanya tentang rasa nyaman atau aman.
Ketika rumah adalah tempat paling nyaman dan aman untuk menjadi diri sendiri, maka bukankah rumah adalah diri sendiri? Bukankah kita akan dapat menjadi diri kita sendiri ketika kita pulang pada diri sendiri? Dengan demikian mungkin kita akan dapat menjadi secarik kertas penuh kata-kata makian dan hujatan pada diri sendiri. Namun, kita juga akan paham kenapa kita terus menerus memaki dan menghujat diri sendiri.
Mungkin orang yang kabur dari tempat tinggalnya, bukan sedang kabur dari rumahnya atau pun mencarinya. Mungkin meraka hanya sedang mencari diri mereka sendiri. Dalam ramainya tanah petak dan bara api laju hidup. Aku hanya ingin selalu mendoakan mereka agar sampai pada suatu titik ternyaman dalam pelukan diri mereka sendiri.
Karena aku percaya: ketika kita membahasakan rumah sebagai penerimaan diri sendiri, maka kita akan menemukan diri sendiri. Aku membayangkannya sebagai sebuah malam panjang yang sunyi. Aku akan menaruh tas selempangku, membuangnya pada ketiadaan. Di tengah-tengah rumah aku akan menemukan diriku sendiri dengan peluk terbuka. Dengan mata berkaca-kaca. Hal yang pertama kulakukan tentunya adalah memeluknya dan menangis bersama. Sebelum kemudian bercerita mengenai dunia dan rutinitas harian hingga malam bergulir jadi pagi.
Aku merasa aku akan sanggup hidup di bangunan seperti apa pun, dengan pelik serunyam apa pun, ketika aku diperkenankan untuk pulang pada diriku sendiri pada suatu waktu. Karena dengan demikian aku akan sanggup bersedih. Aku akan sanggup tertawa dan mengumpat. Aku akan sanggup melakukan hal-hal yang tidak dapat kulakukan di bangunan mana pun.
Aku akan sanggup menjadi diriku sendiri.
Sayangnya, sekarang aku tak lagi tahu aku ada di mana. Aku tidak lagi ada di emperan toko yang tutup sembari menghisap rokok seperti pada tahun 2013 silam. Aku sekarang berada di depan laptop sembari menulis tulisan tidak penting ini. Namun semuanya masih sama. Aku sedang menjeda untuk pulang. Atau lebih bisa dibilang sebagai bentuk lain dari tersesat dan tak lagi mengenali jalan dan arah pulang.
Meja kerjaku masih berwarna cokelat. Pudar di berbagai sisi. Sama seperti dulu, aku belum pernah pulang ke rumah sejak tahun dingin dan panjang itu. Sejujurnya, aku paham bahwa aku sedang menjeda kepulanganku pada rumah bukan karena aku enggan melainkan karena aku lupa. Aku lupa di manakah letak rumah, titik jelasnya di peta, ataupun arah menuju ke sana.
Atau mungkin, pada mulanya, aku memang tak memiliki rumah.
Ya, mungkin memang aku tak pernah memiliki diriku sendiri.
Meja Kerja Berwarna Cokelat, 17 Kedua di 2021