Suaka Rasa Sedih

Tentang mencari tempat ternyaman untuk bersedih

Wikaranosa Supomo
5 min readAug 14, 2023
Cover Playlist Favorit

Mari memulai tulisan ini dengan bahasa yang sedikit ringan.

Eksplorasi musik merupakan hal yang sangat menyenangkan untukku. Dimulai dengan terjun dalam kubangan rekomendasi spotify kemudian merangkak pelan-pelan pada video-video KEXP, NPR Music, dan Charismatic Voice. Terlebih ketika membahas referensi musik baru dengan Raditya Kemal yang memang gemar berekspolarsi. Namun, satu hal yang tetap sama adalah pencarian makna dari lirik-lirik lagu yang terdengar di telinga.

Malam dingin di permulaan Maret 2020, seingatku, merupakan sebuah awal mula untuk merangkai sebuah playlist. Setiap jam kuhabiskan untuk membongkar pencarian Google dengan daftar lagu-lagu menyedihkan atau tentang bunuh diri. Aku mendengarkan lagu-lagu itu satu per satu sebelum kemudian merasa terwakilkan dan merasa ingin menyerah. Pada akhirnya aku berhasil menumpuk progresi kord minor, suara vokal yang menyedihkan, melodi yang menyayat, dan tentu saja lirik yang membunuh.

Hingga aku menyelesaikan pembuatan sebuah playlist dengan judul The World Hates You.

Judul itu diciptakan sebagai manifestasi bahwa dunia membenci orang-orang sepertiku. Bahwa lirik dan musik lagu yang ada di playlist itu begitu sadis. Aku mengumpulkan puluhan lagu tentang kehilangan jati diri, merasa tidak berharga sembari lelah menjalani hidup, serta tentang perasaan sesak yang membunuh.

Dengan tidak sadarnya, aku mengamini seluruh kuncian dan jeruji yang mengurungku selama beberapa tahun itu nyata dan kuat. Mengamini bahwa mungkin akan lebih baik aku membusuk di dalamnya daripada harus tersiksa keluar dari sana. Fokusku akhirnya hanya bergerak menuju sebuah duka yang kuanggap besar. Sebuah luka yang kuanggap agung dan layak untuk dipamerkan.

Aku berpendapat bahwa luka dan derita seseorang yang kuakui adalah tentang segala sesuatu yang menyiksa. Aku akan menilai tinggi duka tentang broken home. Tentang bagaimana keluarga pecah dan seorang anak menjadi korban. Atau mungkin juga tentang kehilangan pekerjaan serta jatuh dalam kemiskinan. Segalanya berotasi dalam nestapa yang memperlambat napas hingga nyaris tak mampu lagi untuk ditarik.

Playlistthe world hates you” tanpa kusadari merupakan sebuah tempat aman untukku bersedih.

Merasa Sedih Adalah Hal yang Berbahaya

Apakah yang mendatangi kita bersaaman dengan kesedihan? Sedih tak pernah datang sendirian, dia datang dengan asam lambung, air mata, dan rasa sesak di dada. Aku setidaknya merasakan dua di antara tiga hal yang baru saja kusebutkan. Membuat diriku merasa lemah dan tidak berdaya. Seperti terperangkap dalam ruang yang gelap dan dipukul berkali-kali oleh kesedihan yang menyamar menjadi kekosongan.

Dalam fase gelas (gampang pecah dan berhamburan) itulah, manusia cenderung menyembunyikan muka dan perasaannya. Beberapa dari kita mengenakan topeng setebal harga dirinya yang enggan tercoreng. Ada pula yang sengaja mengenakan sepatu kets dan berlari menjauh dari dari riuhnya isi kepala. Aku sendiri biasanya lebih memilih untuk menyalakan mode senyap dan mengurung diri dalam selimut.

Kita cenderung menutupi kesedihan. Menyembunyikannya agar tak terlihat oleh kejahatan yang mungkin menyelip dalam celah-celah tersebut untuk menertawakan dan merendahkan kita yang akan segera hancur. Selain itu, kesedihan bukan pula merupakan sesuatu yang membanggakan untuk sebagian besar manusia. Sebuah aib. Sebuah tumor besar yang dapat membunuh secara perlahan.

Padahal rasa sedih juga perlu dirayakan. Dirasakan sampai jantung ingin berhenti karena tak lagi mampu menahan tekanan yang pedih. Rasa sedih perlu diterima oleh diri sendiri. Manusia tidak dapat mengharapkan penerimaan kondisi kesedihan dari manusia lainnya. Empati memang memiliki tempat di muka bumi, tapi waktu-waktu yang jahat sering kali menyembunyikannya. Seorang manusia, harus dapat menemukan cara merayakan dan menerima rasa sedih dalam hatinya. Penerimaan rasa sedih adalah suatu hal yang berbahaya. Ego yang dirawat dapat hancur. Kesehatan yang dijaga dapat rusak. Namun, penerimaan itu adalah hal yang penting untuk terus melangkah maju. Tak ada yang paham kapan peneriamaan ini akan selesai, yang kutahu hanya kelak nanti badai itu mereda dan senyum dapat merekah kembali di angkasa.

Hanya saja, untuk dapat menerima rasa sedih yang berbahaya, kita perlu suaka.

Suaka untuk bersedih dan meratap. Suaka itu tidak harus menjelma jadi kamar hotel berbintang dengan mini-bar, bathub, dan pemandangan gemerlap city view. Tempat itu hanya harus menjadi sebuah tempat aman dan nyaman untuk manusia merasa kalah dan lemah. Bagiku, orang paling beruntung adalah mereka yang menemukan suaka berupa manusia lainnya yang mampu menerima mereka, terlepas kondisi kesedihan yang dideritanya. Namun, tak menemukan orang yang tepat tidak pernah menjadi masalah, kita hanya perlu berkelana mencari suaka lainnya. Mungkin kita dapat menemukannya pada makanan pedas kesukaan yang membuat keringat menetes dan perut melilit. Kita bisa pula menemukannya dalam buku-buku atau marathon film yang digemari.

Aku pribadi pernah menemukan suaka pada sebuah playlist Spotify yang kususun tiga tahun silam.

Sebuah Playlist yang Menjadi Prasasti

Walaupun aman untukku, suaka yang berbentuk playlist tersebut berbahaya untuk orang lain. Di dalam kumpulan lagu berisi pekikan Layne Staley dan amarah SIA, seorang teman malah menemukan katalis untuk kesedihannya. Buatku, kumpulan lagu depresif tersebut membuatku mampu mengenali kesedihan dan merayakannya. Sayangnya, seorang teman pernah menggunakan playlist tersebut sebagai sebuah musik latar dalam prosesnya menyayat lengan. Menurutnya, kesedihannya makin parah dan makin susah dikenali ketika dia menelan semua rasa sedih lain dalam lagu-lagu tersebut.

Karenanya, ada beberapa saat playlist tersebut keluar-masuk dalam kategori hidden. Aku terpaksa mengurungnya agar tidak menyakiti orang-orang yang kukenal. Lalu bagaimana playlist tersebut kembali menjadi public? Keputusanku untuk menjadikan playlist tersebut dapat kembali didengarkan secara umum adalah ketika aku sadar bahwa aku selamat.

Beberapa bulan setelah playlist tersebut dibuat dan kuputar dengan rapat dalam interval yang berdekatan, aku kemudian melanjutkan hidup. Setelah cukup bersedih dan meratap, aku jarang mendengarkan lagu-lagu itu lagi. Aku melangkah keluar kamar, mengerjakan berbagai hal, dan bertemu kembali dengan berbagai orang. Bahkan aku menemukan suaka baru berupa seorang perempuan penyayang yang kemudian kunikahi.

Aku tidak lagi menjadikan playlist tersebut sebuah suaka. Aku menemukan banyak suaka-suaka baru, yang jauh lebih aman dan menenangkan. Namun, bukan berarti aku menghapus suaka sederhana berbentuk playlist itu. Aku tetap menyimpannya rapat. Beberapa kali memutarnya, bukan untuk merayakan rasa sedih, melainkan hanya untuk menikmati musiknya saja.

Hingga pada akhir 2022, dua tahun lebih setelah playlist itu dibuat, aku merinding mendengarkannya kembali. Bukan karena alunan minor ataupun tempo nestapa yang masuk ke dalam telingaku, melainkan aku tersadar bahwa aku masih hidup. Aku berhasil melewati rasa sedih itu. Aku selamat. Bagiku, playlist itu adalah suaka yang membantuku di masa itu. Di masa gelap dan menghimpit, ada alunan nada yang mewakilkanku untuk mengeluarkan perasaan. Membantuku mengenal kesedihan, hingga akhirnya melaluinya dengan penuh darah, muntahan, dan sedikit air mata.

Hal itulah yang membuatku tidak lagi membuat playlist tersebut dalam kondisi private. Aku berharap mungkin akan ada orang yang mampu terwakilkan dengan lagu-lagu di dalamnya. Aku berharap ada banyak orang mampu melewati dan berdamai dengan kesedihan yang menyelimutinya.

Terlebih aku berharap, semua orang mampu menemukan suakanya. Karena walaupun kesedihan itu nyata, sama seperti kebahagiaan: ia fana. Yang abadi hanya kenyataan bahwa kita adalah manusia.

Di atas Meja Kerja Warna Coklat, tanggal 9 kedelapan di 2023.
#np Alanis Morisette — Smiling

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Wikaranosa Supomo
Wikaranosa Supomo

Written by Wikaranosa Supomo

Akan menulis apabila ada isi kepala

No responses yet