Sebuah Pesan
teruntuk diriku di umur tujuh belas tahun,
Hai, bagaimana kabarmu? Apakah masih terjaga di tiga pagi dengan asbak penuh abu dan putung rokok? Tak usah kau jawab pun aku tahu, karena aku pernah benar-benar ada di posisi itu. Jadi, kusarankan kau untuk menutup pikiran-pikiran jahat dari ambisi-ambisimu itu. Matikan lampu kamar dan beranjaklah ke kasur. Putarlah Heinali atau Lena Natalia atau siapapun terserah. Bacalah pesan ini dan berusahalah tidur.
Tentang Menego Mimpi dan Permintaan Maafku
Mungkin kau tidak akan mengira jika laptopku masih menyala. Kau pasti mengira bahwa aku harusnya sekarang sudah tidur dengan nyaman. Sudah mencoret beberapa bucket list yang ditulis di kertas buram warna coklat dengan noda tumpahan kopi di ujung kanan-atasnya. Barangkali kau berpikir bahwa aku telah mencoret banyak baris dan hanya menyisakan sedikit lagi untuk diselesaikan untuk dapat berangkat mati.
Namun, aku masih di sini. Di kamar yang sama dengan delapan tahun yang lalu -hanya berbeda tata letaknya saja. Mencoba sebisaku merangkai pesan untukmu dan berkhayal dapat mengirimkannya ke masa lalu. Menujumu. Karena dengan begitu aku akan dapat mengajarimu. Aku dapat menyelematkanmu dari apa-apa saja yang dulu dan sekarang menjeratku.
Apakah kau tahu bucket list yang kita buat di malam itu hanya sedikit sekali yang tercapai? Membuatku tak bisa memenuhi mimpi terbesar untuk mati di umur dua puluh tujuh dan menjadi tragedi yang melegenda seperti Anwar atau Cobain. Mimpi bodoh untuk menulis fiksi fantasi yang dijadikan film atau membuat sekolah akan sangat sulit terwujud. Apakah kau tahu di ulang tahunmu yang ke dua puluh lima nanti kau tidak akan bisa bebas berpergian ke luar rumah? Sekadar mengabari, bahkan kau tidak punya kesibukan tetap yang dapat kau banggakan.
Aku minta maaf.
Aku minta maaf ketika aku menego seluruh isi bucket list yang kita susun itu. Karena dulu aku berpikir bahwa mimpi itu sangat mahal dan berkeinginan untuk menurunkan harganya. Menego poin per poin dan berdebat dengan realita. Lupa bahwa mimpi menjadi mengesankan karena memang mahal. Butuh banyak pengeluaran untuk mewujudkannya nyata.
Kuharap kau tidak melakukan kesalahan yang sama denganku. Kita berdua bermimpi jadi penulis. Sampai mati akan tetap kupegang teguh mimpi tersebut walau sampai sekarang tak kunjung tercapai. Bahkan beberapa kali pecah dan berhamburan. Mimpi yang pecah-pecah itu menyakitiku. Bukan karena mimpi itu berbahaya, melainkan karena aku lemah.
Apakah kau tahu? sampai di umurku yang seperempat abad ini aku tidak kunjung mengeluarkan karya. Aku tidak punya buku solo atau karya yang cukup menampar keras banyak orang, menyadarkan mereka. Semua hanya karena rasa tidak percaya diriku yang menindasku. Aku akan takut untuk menulis. Takut tulisanku jelek. Takut tidak ada yang membaca. Takut ditolak. Takut bahwa memang menjadi penulis memang bukan merupakan hal yang cocok untukku. Bahkan ketika aku menulis pesan yang kurasa sangat personal ini, aku merasa harus menulisnya dengan bagus. Aku takut tulisan ini jadi jelek dan bahkan nyaris tidak menyelesaikannya.
Hal yang sama juga terjadi di poin lain di bucket list. Aku merasa tidak cukup baik. Aku merasa buruk. Aku merasa aku tidak akan dapat mewujudkannya. Sehingga aku menegonya, menganggap beberapa poin akan sulit untuk dilakukan. Menyangkalnya seperti kutukan.
Sangat menyedihkan bukan?
Tentang Kamar Gelap di Kepala dan Saran-Saranku Untukmu
Kau mungkin beranggapan bahwa dengan menulis pesan ini, aku sekarang sedang menengok melihat kaca spion. Terperangkap dan memeluk erat masa lalu yang mungkin lebih baik daripada kondisi sekarang. Orang bilang bahwa kaca spion lebih kecil dari kaca depan mobil karena manusia haruslah fokus pada masa depan dari pada masa lalu. Sebuah omong kosong yang menjengkelkan. Kaca depan yang besar akan sangat berguna bagi mereka yang sedang berjalan maju. Bagaimana denganku? Di depanku ada sebuah tembok besar yang menghalangi. Kaca spion yang kecil malah makin mempersulit untuk mundur dan mencari jalan lain.
Bahkan parahnya, di saat terhantam tembok besar seperti ini aku sudah tidak dapat lagi menangis. Padahal menangis adalah hal yang baik. Tahun lalu aku menangis semalaman. Menguarkan duka-duka yang kusimpan sejak awal 2019. Tentu saja dengan sebotol anggur merah. Keesokan harinya memang aku tidak dapat beraktivitas apa-apa. Namun setidaknya kesedihan itu juga ikut dimuntahkan di kloset kamar mandi.
Aku jadi teringat padamu yang selalu minum diam-diam dan akan bolos sekolah saat hangover menyerang. Kita masih sama saja, butuh alkohol hanya untuk menangis dan memvalidasi kesedihan. Jadi, belajarlah menangis tanpa alkohol. Belajarlah cara menumpahkan sedih pada pengapnya kamar. Karena jika tidak lambungmu akan makin bermasalah karena terlalu sering menengak gelas.
Lagi pula daripada melampiaskan kesedihan dan beban pikiran pada hal-hal yang menurutku merusak, kau bisa lebih merapikan pikiran. Kamar gelap berisikan gelisah yang kau cuci jadi foto-foto itu sudah waktunya dipugar. Dulu aku berpikir bahwa memiliki kamar gelap itu adalah sebuah bentuk estetika. Karena bukankah kau merasa bahwa kesedihan dan depresi adalah estetika psikis? Bukankah luka itu cantik?
Aku tak akan menampik pendapat itu. Sialnya, segala yang estetis bukan berarti tidak meremukkan. Delapan tahun aku merawat kejahatan dalam kepala. Delapan tahun pula kamar gelap itu makin tertutup dan meluas. Hal yang terjadi sederhana: Keinginan untuk mati yang bahkan lebih cepat dari dua puluh tujuh. Bahkan aku membunuh diriku sendiri berkali-kali, tiap hari, di dalam pikiranku sendiri.
Jadi mulailah rapikan pikiranmu. Karena apabila kau tidak segera merapikan sudut gelap kepalamu, warna hitam itu akan menjalar hingga beberapa tahun ke depan. Mungkin saja kau seberuntung diriku. Mungkin juga tidak.
Tentang Hidup dan Pesan-Pesan Lainnya
Aku sangat paham kau akan kebingungan dengan pesanku ini. Jujur saja aku menuliskannya pada pukul tiga pagi dan aku tidak akan merombak lagi isinya yang amburadul ini. Kau mungkin merasa dalam hidup yang kau jalani sekarang kau merasa kerumitan hidup berotasi padamu. Kesedihan menguncup pada kelaminmu. Bahkan setelah membaca ini kau mungkin akan mengumpat dan meratapi kenapa hidupmu kelihatan akan lebih kacau di tahun-tahun ke depan.
Aku tak akan memotivasimu kalau hidup ini akan mudah apabila dijalani. Aku hanya menitipkan pesan bahwa akan ada alasan-alasan lain untuk tidak mati secepat itu. Aku belum bisa mati di umur dua puluh tujuh karena banyak bucket list kita yang belum kucoret. Bahkan aku menemukan banyak alasan-alasan lain untuk membuatku tetap hidup dan bangun dari matiku setiap hari.
Kuharap kau menjalani hidup sebagaimana dirimu menjalani hidup. Hiduplah lebih baik dariku. Kalu bisa coret bucket list mimpi itu lebih banyak daripada diriku. Bukan untuk dapat mati di umur dua puluh tujuh, melainkan agar kau dapat menemukan hal membahagiakan lain daripada meratapi bucket list yang tak kunjung tercapai. Mungkin bahkan kalu dapat memanjangkan daftar mimpi konyol tersebut dan hidup selama yang kau mau.
Kuharap kau dapat menjadi seseorang yang dapat dibanggakan oleh dirimu di umur tujuh belas tahun. Karena jika tidak kau akan terus menerus minta maaf pada dirimu sendiri dan akan lebih sulit untuk memaafkannya.
Sungguh kau akan sangat kesulitan untuk memaafkan permintaan maaf seperti ini, “Maafkan aku ketika aku belum bisa menjadi orang yang bisa kau banggakan?”
Di Sebuah Kamar Gelap Raksasa, Hari Kelahiran ke dua puluh lima
PS: Jangan merokok surya alami lagi.