Move On: Beranjak dan Menginjakkan Langkah Baru

Sialnya, selain ikhlas, kita perlu berani

Wikaranosa Supomo
6 min readDec 23, 2019
Photo by Vialdo Muhammad Virmansyah

Aku pernah berkeyakinan bahwa 1 miligram nikotin dalam rokok menthol kegemaranku, yang selalu kubawa setiap saat agar dapat kunyalakan sesuai kebutuhan, merupakan racun yang tidak membunuh. Namun, ternyata akhir-akhir ini kebutuhan itu selalu datang terus menerus. Mungkin ini hanyalah sanggahanku yang terlampau rapi untuk menyembunyikan kecanduanku terhadap nikotin. Atau mungkin memang keadaan memang memaksaku untuk terjebak dalam rutinitas seperti itu.

Sekarang, aku menyalakan satu batang lagi ketika menulis paragraf ini. Kecanduan sesuatu memang tak pernah baik. Kau selalu meminta dan terus meminta. Awalnya kau terjatuh, kemudian tenggelam semakin dalam dan terus menerus ke dasar.

Bicara soal kecanduan, aku akhir-akhir ini menyadari bahwa aku telah kecanduan sesuatu yang lebih parah dari nikotin: masa lalu.

Kenangan Masa Lalu Adalah Racun yang Membunuh Perlahan

Masa lalu selalu dapat diterjemahkan dengan sedih menjadi dua hal: kenangan dan ketakutan.

Kebanyakan orang, selalu sentimental terhadap masa lalu. Mereka membingkainya dalam bentuk cerita sendu atau nada-nada dengan kord minor yang menyayat. Masa lalu dilagukan tiap senja dengan syahdu. Mereka menikmati. Menghayati. Namun, bodohnya takut selalu menahan mereka untuk berjalan lagi menuju masa depan.

Seseorang yang pernah kehilangan sesuatu pasti akan terperangkap tanpa bisa keluar dari kenangan masa lalu. Perangkap itu menjerat dan menghabisi keberanian untuk maju pelan-pelan. Kau akan terkutuk dengan terus menerus membaca chat room yang tidak mampu dihapus -hanya terus menerus di-archive setelah selesai dikenang. Mungkin kenangan menyiksamu dengan memaksamu bergegas memperbaiki ponsel ketika tahu foto-foto penuh perasaan masih tertinggal di dalamnya.

Atau mungkin yang paling parah: selalu memimpikannya setiap minggu.

“Jadi bagian mana dari kenangan masa lalu yang membunuh?”

Bagiku pribadi, kenangan masa lalu adalah sel penjara. Dinding-dindingnya berwarna pastel. Jendelanya langsung menghadap ke langit tempat kasih sayang pernah bernyanyi paling merdu. Lantainya terbuat dari kehangatan pelukan. Sementara perabotannya dibentuk dari esensi kenyamanan.

Tapi walaupun sel penjara itu membuatku betah, tetap saja di ruangan itu aku terkurung.

Dengan terus menerus tinggal di sel itu, kakiku tak pernah sekalipun beranjak keluar. Kata nyaman terus menerus memaksaku tinggal. Memaksa untuk tidak pergi mencari hal-hal lain yang mungkin dapat lebih membahagiakan. Perasaan terpasung, berlutut untuk tetap memuja kesenangan yang berlalu.

Sel penjara itu memang nyaman dari sisi dalam. Namun, ketika berjalan keluar -entah lewat lubang sebelah mana, sel itu begitu menakutkan dari luar. Banyak retakan di dindingnya -mengindikasikan sel itu dapat roboh kapan saja. Catnya sudah mengelupas dihajar pertengkaran-pertengkaran. Belum lagi anjing-anjing yang bernama Cemas, Rendah Diri, trauma, dan yang lainnya. Mereka berkeliling berjaga di sekitar sel. Ketika kau ingin keluar darinya, anjing-anjing itu tidak akan segan-segan mencabik-cabik. Menghabisimu.

Aku, selalu gagal ketika ingin kabur dari sel penjara itu. Anjing-anjing itu tidak menghabisiku. Belum. Mereka hanya menggigitku pelan, namun aku selalu mundur ketakutan. Kembali kepada sel kenanganku yang nyaman. Aku kemudian akan tidur dengan lelap, mencoba tetap memeluk seluruh kenangan bahagia yang kurasakan.

Dan bukankah, candu seperti ini adalah pembunuhan perlahan-lahan?

Mungkin Kembali ke Masa Lalu Bukan Hal yang Benar-Benar Kudambakan

Terkadang aku tidak habis pikir, kenapa orang yang memiliki ekonomi berlimpah masih saja menanam dan merawat pohon mangga. Hal tersebut melelahkan dan merepotkan. Bukankah mereka dapat dengan mudah membeli mangga-mangga tersebut di supermarket apabila ingin? Tidak perlu harus menyirami pohon, menyapu daun-daun yang berguguran, atau bahkan kesusahan mencari pupuk yang tepat.

Tapi esensi merawat pohon mangga bukan pada buahnya.

Mereka yang merawat hewan, pohon, atau hobi apapun hanya memang senang merawatnya. Memberikan kasih sayang hingga pohon mangga subur dan menghasilkan buah yang ranum. Mereka menikmati suasana dan perasaan yang berotasi dalam kegiatan tersebut. Hal tersebut juga akhirnya menggumpal menjadi memori menyenangkan.

Lalu bagaimana denganku atau mungkin kamu yang terus menerus merawat kenangan.

Di mataku, kenangan masa lalu adalah bias tersendiri. Aku tidak benar-benar yakin apakah aku ingin kembali ke masa lalu dan berhubungan dengan orang yang telah berpisah denganku. Atau aku hanya merindukan memori dan seluruh emosi serta perasaan yang kurengkuh. Dulu.

Manusia yang tidak dapat beranjak, terus menerus melemparkan dirinya sendiri mundur menembus garis waktu. Mereka terus menerus mencari cara bagaimana mereka dapat bahagia. Sialnya, caranya adalah dengan terus menerus merawat kenangan tanpa mau beranjak. Mereka merawat sel penjara tempat mereka mengurung diri mereka sendiri.

Aku pun demikian, aku mengecat dinding dengan kenangan yang indah ketika warnanya sudah mulai kusam. Aku akan memperbaiki perabotnya ketika aku mulai merasa tidak nyaman: kupukuli diriku sendiri dengan rasa bersalah. Aku akan mengusahakan yang terbaik agar kenangan bahagia di masa lalu dapat menjegalku ketika aku ingin melangkah maju.

Aku melakukannya dengan semangat, tanpa tahu bahwa sebenarnya aku tidak pernah ingin benar-benar kembali. (dan tentunya tidak ada jalannya)

Moving On Wasn’t So Hard

“How do you move on? You move on when your heart finally understands that there is no turning back”
--J.R.R. Tolkien

Spekulasi merupakan judi yang sangat sering dimainkan oleh benak manusia. Dalam kepala akan muncul sebuah proyeksi tahun-tahun atau skenario-skenario ketika perpisahan tidak terjadi. Akan muncul naskah hidup tentang bagaimana jika perasaan itu tidak reras dari hatinya. Bagaimana jika tetap memutuskan untuk menghubunginya dan kemudian balikan dengannya walau egomu runtuh. Bagaimana jika kau atau dia tidak mendua. dan seluruh “bagaimana jika” lainnya.

Akankah cerita benar-benar berganti?

Spekulasi terlampau banyak di kepalaku. Hingga terkadang aku ingin menuliskan beragam cerita ketika mungkin aku masih dengannya dan tidak melakukan kesalahan demi kesalahan. Aku berharap cerita dapat berbeda ketika aku melakukan beberapa hal berbeda. Atau mungkin aku hanya berharap perjalanan hidup dapat lebih mulus daripada ini.

Tapi, walaupun beribu-ribu kata kutulis, aku tetap tidak akan mendapati realitas kenyataan itu. Aku akan tetap hidup di garis takdir ini. Manusia bukan Tuhan yang merancang struktur takdir. Sayangnya juga, perasaan berikut juga kisah romansa bukan sebuah algoritma matematis yang dapat semudah itu dimodelkan dan kemudian disimulasikan. Hal-hal itu jauh lebih pelik. Jauh lebih rumit.

Lalu apa yang dapat dilakukan manusia?

Manusia dapat menerima kenyataan. Kenyataan bahwa kau mungkin sudah tidak lagi bersamanya. Kenyataan bahwa kau tidak bisa lagi memanggilnya sayang. Kenyataan bahwa kau tidak lagi dapat memeluk tubuhnya yang rapuh namun menguatkan. Kenyataan bahwa kau mungkin melewatkan berbagai kesempatan untuk dapat berakhir dengannya. Kenyataan bahwa kalian memang telah berpisah.

Move on tidak sulit ketika segalanya telah berhasil kau terima. Pahit. Manis. Hambar. Kau menerima dan melalui segalanya dengan berani. Kau melangkah sembari dikejar anjing-anjing penjaga sel. Mungkin kau akan move on dengan badan penuh cakaran dan gigitan. Kau akan tertatih namun kau hidup. Berjalan dengan senyum, bahwa luka itu akan sembuh. Tapi tetap saja itu move on.

Kau telah lepas dari sel kenangan itu.

Walau aku telah ikhlas untuk beranjak dan melangkahkan kaki, aku belum cukup berani untuk memulai sebuah kebahagiaan kembali. Aku masih diam di luar sel penjara kenangan. Belum berani untuk lari melewati anjing-anjing penjaga. Aku masih takut untuk sakit dan mati. Aku bangga telah keluar sel. Namun, aku masih saja terjebak.

Aku hanya belum berani. Sama seperti mungkin berpuluh-puluh orang lainnya.

Namun, sebuah pertemuan di Jumat malam, membuatku tersadar bahwa aku harus berani melewati apa yang kutakutkan. Sungguh lucu ketika seorang mantan, yang sudah lama kuterima kenyataan bahwa aku tidak dapat bersamanya, memberikan kata-kata penyemangat yang kemudian membuatmu mencoba untuk berani dalam melangkah lagi. Dia membantuku dan meyakinkanku bahwa aku pasti bisa beranjak dari kehilangan di tahun ini.

Setelah seluruh pendapat yang mendewasakan dan melegakan, dia berkata

“It’ll be great, don’t be afraid to jump again”
--Maghfirah M. Aqmarina

Yah, mungkin memang sudah waktunya aku melawan anjing-anjing sialan itu. Karena bukankah berbahagia dan lepas dari penjara ini dapat berlangsung seumur hidup? dan aku memiliki seluruh hidupku untuk lepas dari belenggu ini. Aku hanya perlu tidak takut.

Hanya perlu berani.

Ruang Kerja Wikara, 23 keduabelas di 2019.
#np Birdy — Let It All Go

PS: Thank you, Fir. Semoga langgeng sama doi! Dan seperti kata-katamu: let’s attend each other’s wedding!

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Wikaranosa Supomo
Wikaranosa Supomo

Written by Wikaranosa Supomo

Akan menulis apabila ada isi kepala

No responses yet

Write a response