Mengedapkan Bising

Hari ini aku mencoba untuk menyerah. Namun gagal.

Wikaranosa Supomo
4 min readSep 15, 2020

Deru mesin bersuara lirih sekali. Resonansinya tak menggema menembus lantunan melodi gitar yang keluar dari speaker mobil. Kali ini aku mengambil rute terjauh. Sengaja menunda untuk sampai pada tujuan yang mungkin keji dan tak sanggup kuhadapi.

Aku akan sanggup menuliskan perjalanan pulang menjadi sebuah petualangan baru. Petualangan tentang pelarian dan melupakan. Menjadi sebuah bentuk pilu untuk berdamai dan mengubur kekacauan yang tak sengaja kubuat sendiri. Atau hanya sekadar bentuk kegiatan memutar roda kemudi, memainkan pedal kopling dan gas, sembari memutar lagu-lagu shoegaze dari playlist spotify-ku yang usang. Ah, tak lupa untuk menyalakan rokok (setidaknya aku menyalakannya pada saat larut benar-benar berkuasa, sehingga tidak ada manusia yang dirugikan)

Memperhatikan lampu jalan yang temaram sembari menikmati kekosongan yang tercetak jelas pada aspal merupakan salah satu terapiku untuk menyelesaikan hari. Tidak akan ada siapa-siapa yang memotong laju, bunyi klakson yang mengganggu, ataupun knalpot-knalpot racing yang sangat fals.

Hanya menyisakan aku dan rasa cemas milikku.

Ia duduk di kursi samping kemudi. Menatapku dalam diam dengan kekuasaan yang mematikan. kecemasanku sungguh jahat. Beberapa kali aku ingin menepi dan melemparkannya keluar di pinggir jalan sepi penuh bau sampah dan debu kering yang mengerak di tepi trotoar. Tapi, sebelum aku sanggup untuk melakukannya, dia akan tetap memandangiku. Menggugurkan segala keberanian dan keinginan untuk menghela damai.

Jadi, seperti itu perjalanan pulangku akan berlangsung. Tetap merokok sembari memutar lagu-lagu tenang dengan volume kencang. Berharap tidak ada perbincangan yang cukup mengesalkan. Karena, hanya dalam perjalanan ini setidaknya aku dan rasa cemas milikku tidak melakukan interaksi apapun. Aku yakin nanti ketika roda mobil ini berhenti dan aku membuka pintu, dia akan menerkamku, menciumi setiap inci tubuhku. Dia membercintaiku. Memperkosaku dalam tatanan angkasa yang tak pernah kunjung selesai di barisan logika.

Aku pernah bertanya padanya, sebenarnya apa maunya. Rasa cemas itu hanya menjawab bahwa dia ingin aku merasa bersalah. Ketika mendengar jawabannya, aku hanya tertawa kecil dan membenarkan posisi kacamataku yang melorot karena minyak di hidung yang berlebih. Aku akan menghabiskan tiga lagu untuk menjelaskan betapa aku telah merasa bersalah dan tentu saja merasa kalah sepanjang perjalanan pulang.

“Kalau begitu tabrakkan saja mobil ini pada pohon, gedung, atau pembatas jalan! Rasa bersalah tak cukup untukmu menebus kesalahanmu! Selagi kau masih bernafas, kau akan terus menerus melakukan kesalahan! Kau akan terus menerus menyiksa orang-orang lain!” teriaknya keras-keras. Tepat ketika sinyal ponselku hilang dan lagu yang kuputar berhenti sementara.

Ucapan kasar itu biasanya tak akan kubalas. Hanya kudiamkan sembari menunggu lagu dari ponselku menyala lagi. Memang ada pikiran iseng untuk menabrakkan mobil ini, berharap kami berdua tiada dalam prosesnya. Setidaknya, rasa cemas ini juga akan menghilang ketika aku menghembuskan nafas terakhirku, bukan?

Tapi sayangnya lagu-lagu shoegaze ini hanya memperkenankanku untuk melaju di angka 30 km/jam.

Sepanjang jeda lagu itu, dia terus menerus berkelakar. Tentang bagaimana rasa percaya diri yang sungguh menipis. Terus menerus bercerita tentangku yang jadi anjing pemilik bekas luka lebam di sekujur tubuh. Terus menerus mengingatkanku tentang kisahku dipukuli dan caraku makan tai milikku sendiri.

Hal yang paling ajaib dari itu semua adalah aku tak pernah berhenti mengamininya. Semua yang diucapkannya adalah kenyataan yang tak pernah dapat kuhapus dengan cairan natrium hipoklorit ataupun stain remover lainnya. Hal yang tak akan pernah berubah walaupun aku mengganti baju-baju warna hitamku dengan warna cerah yang menawan. Semuanya akan tetap ada dan tercetak dalam curriculum vitae yang tak pernah kukirimkan pada lowongan manapun.

“Menabrakkan diri itu menyakitkan.” keluhku sembari menggaruk kepalaku yang entah kenapa gatal sekali. “Lagipula untuk apa aku menghembuskan nafas terakhirku sekarang kalau tidak mengubah apapun? Untuk apa aku kesakitan menjalani prosesnya kalau sekarang pun aku seperti mati?”

“Kau bodoh!” sahutnya. Ah, sekarang dia merajuk.

I sometimes wish I’d stayed inside My Mother, never to come out
Smother by Daughter

Ketika lagu dari ponselku akhirnya berputar lagi, aku sengaja menaikkan volume-nya. Setidaknya aku tidak ingin suaranya kudengarkan. Aku hanya ingin menikmati perjalanan ini dengan tenang. Kucukupkan saja pembicaraan konyol tentang bunuh diri itu. Kulemparkan jauh ke barisan kursi paling belakang. Memang dia masih kubawa berkendara dan sesekali terlihat di spion tengah, tapi setidaknya dia menghilang dari pikiran dan apa-apa saja yang mengganggu ketenangan.

Memang terkadang lelucon hidup ini keterlaluan. Terkadang bahkan tidak lucu sama sekali. Acap kali aku akan mempertanyakan apakah hidup itu adalah anugerah dari Tuhan ataukah hanya kutukan yang diperoleh Adam dan Hawa yang kemudian diteruskan kepada keturunannya? Pertanyaan itu kubawa terus menerus mulai dari ujung sajadah hingga ujung gelas wiski di waktu-waktu senggang.

Tapi memang kenyataan dari hidup yang penuh masalah ini hanyalah terletak pada hubunganku dengan rasa cemas yang buruk sekali. Dia masih merajuk. Bahkan ketika laju mobil ini sudah melambat dan mendekati tujuannya. Dia masih berteriak dan memukul-mukul dashboard. Setidaknya volume speakerku masih lebih kencang daripada raungannya.

Aku akhirnya berkeyakinan bahwa seharusnya aku masuk kembali ke dalam rahim ibuku. Menutupnya rapat-rapat dan tak pernah keluar lagi. Seperti yang disampaikan oleh Daughter lewat lagunya berjudul Smother. Bunuh diri memang salah satu solusi separuh tuntas untuk kehidupan yang mengerikan. Namun, kalau bisa memilih, aku memilih untuk tidak dilahirkan daripada menistakan kehidupan yang diperjuangkan oleh orang lain.

Daripada aku menyakiti orang lain dan menyakiti diriku sendiri, mungkin ada baiknya aku kembali ke dalam ruang yang kedap dan tidak bising.

Seperti rahim, atau mungkin seperti berkendara dengan mobil pukul dua belas dini hari.

Pada Perjalanan Pulang, Tanggal 15 Kesembilan di 2020
#np Daughter — Smother

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Wikaranosa Supomo
Wikaranosa Supomo

Written by Wikaranosa Supomo

Akan menulis apabila ada isi kepala

No responses yet

Write a response