Dugaanku pada Seorang Penduga

Dugaanku, nanti waktuku akan habis untuk menduga-duga sembari aku menghabiskan dugaanku untuk menyelami garis waktu.

Wikaranosa Supomo
5 min readJun 10, 2020
Photo by Startup Stock Photo

Dahulu, aku pernah mengenal seorang penduga.

Dia selalu menyingsingkan lengan bajunya ketika menerawang jauh ke masa depan. Pundaknya begitu lebar membawa cemas yang berkali-kali membuatnya ngilu tak berkesudahan. Aku akan menemukannya dengan buku saku berwarna biru yang terbuka dan entah sedang menulis apa. Namun dia akan menghabiskan harinya dengan duduk di sebuah serambi. Tak berpindah. Selalu menetap.

Acap kali dia mengenakan sweater berwarna kelabu polos dengan bangga. Menurutnya warna abu-abu adalah pemakaman untuk proses tawar menawar antara hitam dan putih. Sebentar-sebentar dia akan memanggilku. Kemudian setelah aku sampai pada pundaknya, dia akan berceloteh tentang waktu-waktu untuk menyerah dan berjuang.

Aku tak pernah peduli celotehan seorang Penduga.

Beberapa ratus skenario selalu dijabarkan dengan rasa takut yang begitu menggebu. Pernah pada suatu lintasan masa dia akan mengigau tentang kejahatan yang mungkin saja bisa dilakukannya ketika dia memilih untuk jatuh dalam kubangan anggaran. Dia juga pernah bergurau tentang bagaimana dia bisa saja mati ketika kehabisan rokok di tengah malam dan sedih serta pilu menguasai tenggorokannya. Dia menduga: pada saat itu mungkin saja dia ingin mengiris pergelangan tangan dan memutus hidupnya.

Omong kosong tentang mimpi dan tujuan hidup juga acap kali diukirkan pada sebuah sandaran ranjang. Dengan pisau pahat dan palu, dia akan membuat segalanya menjerit dalam diam. Hingga nanti semuanya akan tinggal prasasti. Hanya jadi manuskrip kuno tentang bagaimana dia menduga bahwa impian yang dirindukannya tak perlu jadi nyata.

Temanku ini benar-benar seorang penduga yang ulung. Seluruh teori tentang nilai hidup baginya adalah menghilangkan ketakutan-ketakutan yang mungkin hadir di mimpinya. Pun juga di saat dia terjaga.

Namun, di antara celotehan-celotehan kosongnya, aku paling benci ketika dia menduga-duga tentang hati. Tangisnya pernah tumpah ketika memikirkan patah hati yang mungkin saja bisa terjadi di sebuah malam ketika perasaannya akhirnya ditolak. Namun hal itu tak lebih menyebalkan daripada saat aku harus menemaninya menengak wiski murah saat dia menduga perempuannya memiliki pacar rahasia.

Lalu pada suatu masa yang dikumpulkan oleh Bathara Kala, aku menanyakan hal yang seharusnya kutanyakan padanya sedari dulu.

“Ketika kau pandai untuk menduga-duga masa yang akan datang, Apakah kemarin kau telah menduga apa yang akan terjadi hari ini seperti hari ini kau menduga apa yang akan terjadi di masa mendatang?”

“Tentu saja, aku adalah seorang penduga”

“Apakah dugaanmu kemarin benar-benar terjadi hari ini?”

“Sayangnya, tidak”

Namun, perihal nyata yang pasti seperti itu tidak pernah menghentikan temanku itu untuk menduga-duga. Mungkin dia hanya memang terbiasa untuk mencari dan terus menerus berkelana mencari suatu jalan terbaik. Berusaha terus menggugurkan hal-hal buruk yang telah diduga-duga olehnya. Dalam kepalanya sendiri.

Seumurku memiliki mata dan membuat otakku berempati, aku sama sekali tak melihatnya tersiksa. Sama seperti biasanya, Ketika hal akhirnya tak sesuai dengan rasa cemasnya, dia akan mencoret beberapa baris kalimat di buku sakunya. Menggugurkan salah satu dugaan dalam tidur lelapnya.

Baginya mungkin menduga-duga realita dan mencocokkannya dengan kenyataan adalah salah satu kegiatan menyenangkan. Sama seperti lotre, dia akan bertaruh untuk melihat apakah dugaannya benar. Ataukah dugaannya salah. Semuanya tak jadi soal. Karena dia telah terbiasa menduga-duga.

Namun jalinan kala, tak sepenuhnya dapat kembali. Jalinan itu akan terus merajut menjadi sebuah pintalan waktu yang tak akan pernah berhenti.

Suatu malam pukul delapan, seorang temanku yang pandai menduga-duga mengetuk pintu kamarku yang berwarna coklat. Ketika aku membuka dan mempersilahkannya masuk, dia limbung dan jatuh di lantai dingin. Aku tak ingin bersusah-susah mengangkatnya dan memindahkannya. Dia kubiarkan begitu saja telentang di kasur dengan mata terbuka dan tatapan kosong menerawang semesta.

Ketika aku menghampirinya dan menyalakan kretek kegemaranku, aku mulai berempati padanya. Kakinya mengecil, tak kuasa menopang jerih payah usahanya. Rambutnya mulai beruban dan botak di beberapa bagian karena dihajar rasa cemas dan frustasi. Dadanya naik kembang kempis dihimpit ketakutan-ketakutan. Sedangkan aku melihat punggung lebarnya tak lagi kuat menahan segala beban yang entah sejak kapan dipanggulnya.

Temanku yang pintar menduga-duga ini memanggilku untuk mendekat. Dia bahkan mengisyaratkan untuk mendengarkan bisikannya.

“Aku kehabisan waktu.”

“Apakah kau tidak menduganya?”

“Tidak. Aku hanya menduga apa yang akan terjadi di masa-masa yang akan datang. Aku tak pernah menyangka dan menduga bahwa dugaanku akan menghabiskan seluruh waktuku.”

“Padahal kau adalah seorang penduga.”

“Menjadi seorang penduga ternyata melelahkan.”

“Mengapa?”

“Karena aku menghabiskan seluruh waktuku untuk menduga-duga. Kemarin, aku menghabiskan nafasku untuk menduga apa yang akan terjadi hari ini. Hari ini aku menduga-duga apa yang mungkin terjadi esok. Mungkin aku akan menghabiskan hari esok untuk menduga apa yang mungkin terjadi hari esoknya.

“Rasa takut ini membunuhku pelan-pelan. Tanpa sadar, ketika aku berhenti menduga, aku mengetahui bahwa aku telah lama mati dan tak benar-benar hidup. Rasa cemas ini menghantui. Aku jadi tak mengerti mana dugaan yang menjadi kenyataan dan mana kenyataan yang ternyata hanya berupa dugaan.”

“Apabila demikian, berhentilah menduga-duga. Mulailah bernafas kembali hari ini.”

“Aku tak sanggup. Dugaanku nafasku sudah mendekati ujungnya.”

Ternyata dugaannya benar. Dia menghembuskan nafas terakhirnya kali itu dengan peluh bercampur rasa cemas dan takut. Aku membiarkannya seperti itu selama beberapa saat. Mengamatinya lamat-lamat.

Pada sebuah petang di perkuburan. Aku membawa sebuah jasad penuh dugaan. Aku membuka tanah dengan rasa kehilangan dan tak ingin melepaskan. Jasad itu kubaringkan dalam tanah dan kusemai dengan bunga-bunga perkabungan. Berbagai doa dan pelajaran mulai menguar kepada angkasa ketika tanah mengubur wajah kering jasad itu pelan-pelan.

Jalinan waktu secara pasti mulai bergulir maju. Aku terheran kenapa detik arlojiku mulai berputar kembali. Padahal beberapa saat yang lalu dia masih diam dan enggan bergerak. Setelah penguburan jasad ini selesai, bagiku terasa lucu untuk terus menerus bertanya pada waktu mengenai apa yang akan terjadi nantinya.

Kali ini, aku telah kehilangan seorang penduga.

Namun mungkin dia memang telah hilang semenjak lama. Mungkin dimulai ketika dia khawatir tentang apa-apa saja yang bisa saja terjadi di masa depan. Mungkin dimulai ketika dirinya mulai mendata kabut-kabut tipis yang memisahkan pandangannya dengan segala sesuatu yang ada di masa depan.

Perasaan gelapku berkata demikian. Aku merasa temanku itu telah lama mati ketika menduga-duga. Aku merasa dia telah lama hidup dalam ketakutan-ketakutannya sendiri. Tinggal dalam seluruh probabilitas yang belum tentu terjadi. Semuanya saling bertabrakan, menyatukan realita dan sejuta kata mungkin dalam kepalanya.

Aku tak ingin menjadi seorang penduga.

Aku ingin tetap hidup dalam hari ini. Carpe Diem. Mungkin aku hanya seorang pengecut yang tak mau melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan mata. Namun aku ingin hidup untuk hari ini.

Aku tak ingin mati seperti seorang penduga.

Karena aku menduga aku tak akan berbahagia ketika aku hidup dalam dugaan-dugaan.

Dalam Sebuah Dugaan, 10 Juni 2020

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Wikaranosa Supomo
Wikaranosa Supomo

Written by Wikaranosa Supomo

Akan menulis apabila ada isi kepala

Responses (1)

Write a response