Cahaya Paling Terang Itu Berbentuk Bayangan Paling Gelap

Atau mungkin sebaliknya

Wikaranosa Supomo
4 min readJul 13, 2020

Dalam sebuah gua gelap tempatku terlelap tiap petang. Sebuah gua yang sekarang makin lembap,

Photo by Ricardo Esquivel from Pexels

Kucari cahaya yang membutakan. Entah itu obor, lampu lima watt, ataupun sebuah senyum seseorang. Satu hal yang pasti, aku tidak ingin melihat kenyataan. Kusembunyikan raga dan mataku pada kegelapan gua. Berharap mendapat sebuah terang yang menghiasi rongga kosong. Mengisi lantai batu yang selalu dingin tiap malam.

Hingga akhirnya kubiarkan langkahku merangkak mengais-ngais validasi. Mencari-cari dengan buta. Mengawasi tiap siku yang tak membentuk sudut apapun. Mengingat tiap goresan tembok penuh dengan sumpah serapah. Menyisakan stalagmit dan stalagtit yang tertatih menyangga waras dalam rongga gua yang menganga. Tak berisi apa-apa. Tak berisi sesiapa pula.

Perjalanan mencari terang dalam gua itu melelahkan. Alas kaki yang butut membuat telapak kakiku tergores. Usaha pencarian menghabiskan waktu lebih rumit daripada satuan yang pernah dicetuskan oleh Al-Biruni. Membakar kalori lebih banyak daripada teori diet defisit kalori.

Dalam letih yang kukerjap, aku mulai mengamini aku tak lagi mencari apapun. Hal yang sesungguhnya terjadi adalah aku berkeliling, meraba-raba, dan terjebak seperti berada dalam penjara. Tak pernah bergerak. Tak lagi beranjak.

Di pagi hari, tak akan ada lagi kicau burung atau embun-embun yang menenangkan. Mereka semua berarak pergi. Terbang jauh mengudara, membeli lembayung fajar paling ujung. Paling awal. Tak lagi membangunkan. Tak lagi mengetuk muka gua dan meninggalkan gaung bergema di gendang telingaku.

Gua yang mulanya adalah tempat paling aman, sekarang mulai kupertanyakan fungsi keberadaannya. Mulai kuragukan perlindungannya. Hingga akhirnya dalam waktu singkat, tiga hari, aku berhasil menyiksa diriku lebih jauh. Berdarah-darah dalam proses menyendiri. Tersakiti dalam proses yang seharusnya dapat menyembuhkan.

Ah sial, ini sepi kubuat sendiri ataukah hanya manifestasi ego untuk tidak ingin ditemani?

Sebagai orang yang sering menghabiskan hidup dalam sebuah gua, aku ingin bertanya kepada kalian yang menghirup udara bebas di luar sana.

  • Bagaimanakah rasanya lepas dari jeratan emosi yang tak kasat mata?
  • Bagaimanakah rasanya bisa melihat terang dan melupakan gelap?
  • Bagaimanakah rasanya menertawakan lelucon tak lucu yang diucapkan oleh orang terkasih?

Namun, sebelum kalian menjawabnya, mungkin aku harus mulai diam, menyimpan pertanyaan lainnya, dan tidak lagi penasaran. Rasa iri akan selalu muncul bersamaan dengan jawaban yang aku selalu pahami tak pernah terwujud dalam hidupku. Setidaknya tidak dalam gua gelap dan lembap milikku.

Sekeras apapun aku menafikkan konsep takdir, aku selalu mengamini sepatu yang kupakai tidak sama dengan orang lain. Ukuran kakiku akan selalu berbeda dengan jejak langkah lain. Usahaku tak akan berujung sama. Pun deritaku tak akan mempunyai jawaban yang mirip.

Sekarang, gua ini juga dipenuhi bau melati. Bau kegagalan dalam berdamai. Bau iri hati. Bau ingin mati.

And often I drown in the moment, When in the end they all Ephemera
— Ephemera by Letto

Beberapa gelap pernah kucumbu dan kutiduri. Beralaskan koran diatas bebatuan yang keras. dalam benakku, aku membayangkan mereka bercahaya. Walau nyatanya tiap detiknya aku tak lagi dapat membedakan susunan warna dalam palet. Tak dapat membahasakan kalimat langsung dan tak langsung. Tak lagi sanggup berambisi untuk mengusir segala sunyi yang menggigit dan meninggalkan puluhan bekas luka yang sangit.

Mungkin, tak pernah kusadari bahwa dalam rongga gua, baik gelap maupun terang memiliki rotasi tersendiri. Sayangnya, aku tak lagi mampu mengenali mereka yang seringkali berubah bentuk, seiring dengan rasa dendam dan kebencian yang memuncak.

Yang lebih buruk dari itu semua, adalah aku lupa bahwa mereka hanya sementara. Mereka tak pernah selamanya.

Semu.

Kegelapan paling pekat yang ada di beberapa sudut gua mungkin merupakan cahaya terang bagi orang-orang yang benar-benar mengerti sudut paling sunyi. Namun bisa jadi mereka menganggap cahaya di luar sana adalah warna hitam yang tak mampu dipendarkan.

Lain halnya dengan orang yang menemukan kehangatan dalam tiap inci perhatian. Mereka yang menganggap hingar bingar canda adalah sebuah lampu di jalanan hidup mereka yang paling terang. Mereka yang selalu menganggap ruangan kosong tak berpenghuni sebagai kegelapan yang membunuh pelan-pelan. Mereka tak pernah mengerti sudut pandangku dalam memandang gua dan kekosongan yang ada di dalamnya.

Kita memandang gelap dan terang dengan berbeda. Tak pernah sekalipun menemukan titik temu dan setuju. Kalian mengutuk kegelapan. Aku memujanya.

Dan itu, tak pernah salah.

Hal yang salah adalah ketika tak pernah fokus untuk menjalani keyakinan itu sendiri.

Aku membahasakan diriku dengan kebodohan yang kususun secara logis. Selalu berpura-pura menyembunyikan diri dalam pekat yang tak terlihat. Berlindung dalam rongga gua yang kosong dan (katanya) aman. Namun, aku melakukah kesalahan fatal dengan memposisikan diriku sebagai orang bebas yang berada di luar gua.

Aku tak pernah benar-benar fokus masuk ke dalam gua, menyelimuti diriku dengan lumpur. Membuka kotak pandoraku dan tertidur didalamnya. Yang kulakukan hanya nampak kuat di dalam rongga gua.

Aku akan berpura-pura berusaha keras masuk dan bercinta dengan gelap: rasa kesepian, rasa dimanfaatkan, kekosongan, dan tak punya siapa-siapa. Namun benakku masih merayap di udara bebas. Menggapai-gapai rutinitas yang kupikir seharusnya kulakukan. Meskipun aku tak pernah benar-benar harus melakukannya.

Kusadari, dalam usahaku mengurung diri sendiri, aku tak pernah benar-benar berusaha menyembuhkan diri.

— Di atas meja kerja warna cokelat yang makin menuntut, 13 Juli 2020.
Sebuah pesan yang ditulis untuk kita yang tidak dapat berbicara lantang tentang perasaan sendiri

--

--

Wikaranosa Supomo
Wikaranosa Supomo

Written by Wikaranosa Supomo

Akan menulis apabila ada isi kepala

No responses yet